Kerajaan Sunda Galuh adalah suatu kerajaan yang merupakan penyatuan
dua kerajaan besar di Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu
Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Kedua kerajaan tersebut merupakan
pecahan dari kerajaan Tarumanagara. Berdasarkan peninggalan sejarah
seperti prasasti dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan Sunda berada di
daerah yang sekarang menjadi kota Bogor, sedangkan ibu kota Kerajaan
Galuh adalah kota Kawali di Kabupaten Ciamis.
Namun demikian, banyak sumber peninggalan sejarah yang menyebut
perpaduan kedua kerajaan ini dengan nama Kerajaan Sunda saja. Perjalanan
pertama Prabu Jaya Pakuan (Bujangga Manik) mengelilingi pulau Jawa
dilukiskan sebagai berikut:
” Sadatang ka tungtung Sunda (Ketika ku mencapai perbatasan Sunda).
Meuntasing di Cipamali (Aku menyeberangi Cipamali (yang sekarang dinamai kali Brebes)).
Datang ka alas Jawa (dan masuklah aku ke hutan Jawa).”
Meuntasing di Cipamali (Aku menyeberangi Cipamali (yang sekarang dinamai kali Brebes)).
Datang ka alas Jawa (dan masuklah aku ke hutan Jawa).”
Menurut Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, “Summa Oriental (1513 – 1515)”, dia menuliskan bahwa:
“The Sunda kingdom take up half of the whole island of Java; others,
to whom more authority is attributed, say that the Sunda kingdom must be
a third part of the island and an eight more. It ends at the river chi
Manuk. They say that from the earliest times God divided the island of
Java from that of Sunda and that of Java by the said river, which has
trees from one end to the other, and they say the trees on each side
line over to each country with the branches on the ground.”
Jadi, jelaslah bahwa perpaduan kedua kerajaan ini hanya disebut dengan nama Kerajaan Sunda.
Keterangan keberadaan kedua kerajaan tersebut juga terdapat pada
beberapa sumber sejarah lainnya. Prasasti di Bogor banyak bercerita
tentang Kerajaan Sunda sebagai pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti
di daerah Sukabumi bercerita tentang keadaan Kerajaan Sunda sampai
dengan masa Sri Jayabupati.
Lokasi ibukota Sunda
Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru di
daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan.Dalam Carita
Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan
di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan
memerintah sampai tahun 723 M.
Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu
yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di
daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda
terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti
sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan
pada bagian Sungai Cicatih yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang
Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir
Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak ibukota
Tarumanagara.
Keterlibatan Kalingga
Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita
dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli
waris kerajaan. Suami puteri ini adalah cicit Wretikandayun bernama
Rakeyan Jamri, yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja
Sunda ke-2. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu
Harisdarma dan setelah menguasai Kerajaan Galuh dikenal dengan nama
Sanjaya.
Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di
Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh
ketiga, teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari
putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di
tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena
sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah. Sena dan
keluarganya menyelamatkan diri ke Sundapura, pusat Kerajaan Sunda, dan
meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun,
kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan
Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya yang
merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan
bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora. Setelah itu ia menjadi
Raja Kerajaan Sunda Galuh.
Sanjaya adalah penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat).
Sebagai ahli waris Kerajaan Kalingga, Sanjaya menjadi penguasa
Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno) di tahun 732 M.
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana,
yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak
seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga
Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.
Prasasti Jayabupati
Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat
pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini
terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk
menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai
Cicatih di daerah Cibadak, Sukabumi. Tiga ditemukan di dekat Kampung
Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan
prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat
prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73
(dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut
Pleyte):
D 73 :
//O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-
//O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-
D 96 :
gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.
gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.
D 97 :
sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.
sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.
Terjemahan isi prasasti, adalah sebagai berikut:
“Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian
terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda
Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya
Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa,
membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri
Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di
sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam
batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir
dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar.
Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.”
Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada
prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua
kekuatan gaib di dunia dan disurga agar ikut melindungi keputusan raja.
Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya
kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya,
menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah
itu ditutup dengan kalimat seruan, I wruhhanta kamung hyang kabeh
(ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).
Tanggal prasasti
Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober
1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati
memerintah selama 12 tahun (952 – 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti
itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf,
bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja
di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita
Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya Maharaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar